MUNDURNYA Freddy Mulli dari jabatan pelatih kepala Persegres diikuti
pula oleh mundurnya asisten pelatih Mursyid Effendy, dan mungkin juga
diikuti eksodusnya beberapa pemain.
Selain itu, beberapa nama
pemain anyar yang disodorkan Freddy kepada manajemen juga batal hijrah
ke Gresik. Antara lain dua stopper Usep Munandar dan M. Bahtiar karena
alasan yang belum jelas. Mungkin Rahmat “Poci” Rivai juga batal.
Mengapa batal? Bisa karena penawaran manajemen Persegres terlalu
rendah, kemudian sang pemain kembali ke klub asal karena ada perbaikan
kontrak atau sebab lain. Yang pasti, manajemen “melindungi” beberapa
pemain lokal yang dinilai bisa meresahkan bila dicoret. Walaupun
kualitas pemain lokal itu bukan kelas ISL.
Para tokoh Ultras
sebenarnya mempersilakan saja pelatih mencoret siapa saja yang dinilai
kontribusinya rendah terhadap tim. Tapi ada perbenturan kepentingan di
sini. Pelatih mengutamakan faktor teknik dan skill pemain mengingat
persaingan di putaran II ISL 2011-2012 bakal lebih ketat. Apalagi
tuntutan public sangat kuat: minimum Persegres harus di papan tengah,
bahkan kalau bisa menembus papan atas di akhir putaran II nanti.
Klub-klub raksasa juga masih merasa perlu menggaet pemain-pemain papan
atas. Mereka yang sudah masuk 8 Besar pun masih getol mencari pemain
anyar yang dinilai lebih hebat. Tujuannya: klubnya bisa juara atau masuk
tiga besar sudah cukup atau yang penting masuk papan atas dan
sebagainya.
Di pihak lain, manajemen Persegres, katanya, masih
mempertimbangkan faktor sosial politik. Kalau putra daerah yang dicoret,
mereka takut dukungan public kepada Persegres akan berkurang. Mereka
takut direcoki dan lain-lain. Soal kualitas tidak terlalu dipikirkan.
Alhasil, kebutuhan urgen akan pemain yang lebih berkualitas
terpinggirkan. Risiko ini yang mereka pilih. Ya sudah.
Padahal,
Persegres harus bertarung lebih keras dengan klub-klub lain di putaran
II nanti. Tampaknya, janji manajemen tidak selalu ditepati. Bahkan juga
di beberapa sektor lain - tidak perlu dinyatakan di sini. Yang paling
krusial adalah kewenangan pelatih, ternyata, tetap dipasung oleh
pertimbangan-pertimbangan tertentu manajemen. Pertimbangan yang
seolah-olah itulah yang paling benar dan bagus buat kebaikan dan
prestasi tim yang lebih tinggi. Seolah-olah!
Kali ini, Freddy
tidak akan kembali bergabung Persegres, meskipun para tokoh Ultras
menilai pencapaian Persegres di putaran I sudah bagus mengingat
persiapan mepet dan materi pemain yang jauh kalah bersinar dibanding
klub-klub lain.
“Saya mengundurkan diri karena target saya
pribadi tidak tercapai. Saya sudah memberikan masukan yang saya nilai
terbaik untuk putaran II nanti. Semoga Persegres lebih berjaya kalau
saya mundur,” kata Freddy kepada sportjatim.com.
Beberapa nama
pelatih masuk nominasi. Eduard Tjong, Widodo C. Putra, Raja Isa, dan
Robert Rene Albert. Tapi semuanya masih belum definitive. Kita belum
tahu, apakah mereka bisa mengakomodasi intervensi manajemen dalam
pemilihan pemain? Dan setinggi apakah daya beli Persegres untuk
mendapatkan pelatih hebat dan pemain hebat yang benar-benar berkelas
ISL.
Yang pasti, Freddy sangat bangga bisa mengorbitkan dua
pemain asli Gresik yang masih muda, yaitu David Faristian dan Wismoyo
Widhistio. Ini bukan soal lama atau barunya. Tapi kualitasnya! Biarpun
lama kalau kelasnya masih Divisi Utama, mengapa harus dipaksa masuk ISL?
Di sinilah hal yang oleh manajemen Persegres dicampuradukkan sebagai
keputusan yang dianggap paling benar, safe, dan harus dipatuhi oleh
pelatih.
Bagi seorang Freddy, intervensi seperti itu, apa pun
alasannya, tidak bisa ditoleransi. Lebih baik mundur, mengalah, daripada
konflik yang lebih besar bakal terjadi. Toh ada Robert Rene Albert atau
Widodo.
Pemain sekaliber Bejo Sugiantoro, Uston Nawawi, Anang
Makruf saja tidak harus bermain dengan Persebaya, apalagi pemain yang
kelasnya di bawah mereka!
Mungkin ada yang memanfaatkan
situasi, dengan menawarkan pemain dan pelatih koneksinya. Kita berharap
niatnya benar-benar untuk membesarkan klub Persegres, bukan sekadar
membesarkan pundit-pundi keuntungannya.
Kadang, seseorang yang
baru memasuki dunia sepak bola, begitu mengenal petinggi sepak bola
nasional tiba-tiba merasa tahu segalanya. Sudah merasa orang lain lebih
kecil. Padahal tidak segampang itu mengenal dengan benar “urat sarafnya”
sepak bola Indonesia.*
0 comments:
Post a Comment