Ditulis oleh Slamet Oerip Prihadi Kamis, 08 Desember 2011 00:31

CHAOS! Sepak bola Indonesia saat ini dicengkeram situasi chaos. Lima klub telah terbelah. Kini giliran klub kebanggaan warga Gresik ikut terbelah!

CaTaTaN: Slamet Oerip Prihadi

Rabu sore 7 Desember 2011. Suasana di luar dan di dalam Stadion Petrokimia Gresik tidak seperti biasanya. Tidak ramai seperti biasanya. Tidak dinamis seperti biasanya.

Senyap.

Mana ratusan sepeda motor yang biasanya parkir di sisi barat stadion? Mana arek-arek Ultras? Pukul 15.15 WIB hanya terlihat mobil pelatih kepala Freddy Muli, mobil para asisten pelatih di tepi jalan sisi barat stadion. Para pemain belum datang. Tidak ada mobil-mobil lain dan ratusan sepeda motor yang lazim berjajar panjang di area parkir.



Image by Paserbumi Bantul via Flickr

Ternyata, Gresik United ISL yang telah mengubah nama menjadi Persegres diboikot Ultras – julukan suporter loyal Gresik United (GU). Sore itu, mereka tidak datang di Stadion Petrokimia untuk menyaksikan para pemain Persegres berlatih. Mereka protes karena nama Gresik United diubah menjadi Persegres tanpa musyawarah dengan Ultras.



Sore itu, arek-arek Ultras berada di Stadion Semen Gresik menyaksikan klub anyar Gresik United (GU) berlatih di sana. Tokoh-tokoh yang membentuk klub anyar GU tersebut antara lain Ali Muchid, Mujiono. Dan, GU yang anyar akan berkiprah di pentas Divisi Utama LPIS (Liga Prima Indonesia Sportindo). Mulanya diplot ke pentas IPL, tapi kondisi yang tersedia lebih pas dan safe ke Divisi Utama saja.

Sepak bola Indonesia berada di masa transisional yang sensitif dan pelik.

Perubahan status klub professional dari plat merah menjadi plat hitam, tak selalu diiringi perubahan persepsi suporter terhadap klub kesayangannya. Setelah GU menjadi milik swasta murni, tanpa serupiah pun dana APBD, dan punya PT Persegres Joko samudro sebagai badan legalnya, perubahan nama klub bisa saja terjadi. Dan, hal itu diperbolehkan oleh PSSI.

Namun, apa yang terjadi? Para suporter langsung melakukan penolakan terhadap pengubahan nama klub. Tampaknya, bagi Ultras nama Gresik United adalah sesuatu yang sakral. Pendekatannya bukan lewat logika, tapi lewat hati. Inilah yang kami sebut dengan social cost dan cultural cost.

Apa yang kami tuliskan 3 Desember lalu terjadilah. Sepak bola Gresik terserang demam amuba dan terbelah. Gresik United yang asli, tapi berganti nama jadi Persegres, berkiprah di pentas ISL. Gresik United yang baru lahir, segera berkiprah di pentas Divisi Utama LPIS.

Suporter pun terbelah, karena Persegres segera mendapatkan kelompok suporter baru yang menamakan dirinya Laskar Joko Samudro (LJS). LJS di bawah naungan Yayasan Joko Samudro yang berdiri tanggal 11 bulan 11 tahun 2011. Sebagian anggota LJS adalah mantan anggota Ultras .

Semoga kedua klub dan kelompok suporter Gresik tersebut bisa hidup berdampingan dengan damai. Semoga persaingan yang terjadi tetap melintas di koridor kualitas dan kreativitas. Amin ya Robbilalamin.

* * * *

Kembali ke area pembahasan, mengapa terbelahnya klub-klub dan pengelola kompetisi strata 1 menimbulkan situasi chaos? Tatanan berubah kacau karena klub yang baru lahir langsung “berpangkat” IPL. Ada pula yang “berpangkat” Divisi Utama.

Di Palembang, klub baru yang materi pemainnya diseleksi dari pemain-pemain muda klub-klub lokal seperti PS Palembang, PS Pusri, PS Banyuasin, Sriwijaya U21 dan Sriwijaya U19, langsung berpangkat IPL. Nama klub baru itu juga Sriwijaya FC. “Ikutnya Sriwijaya FC ke IPL merupakan ajang pembinaan terhadap para pemain muda,” kata Direktur Keuangan Sriwijaya FC (SFC), Augie Bunyamin, mengutip ucapan Presiden SFC Dodi Reza Alex.

Klub bermateri pemain-pemain muda minim pengalaman langsung “berpangkat” IPL. Klub bermateri pemain yang belum berkualitas super langsung bertarung di level premier atau super.

Diungkapkan atau tidak, klub-klub Divisi Utama yang musim lalu bertarung keras dan mengeluarkan dana Rp 5 miliar sampai lebih dari Rp 10 miliar tentu marah. Bagaimana klub yang baru dilahirkan langsung nangkring di puncak strata? Untuk apa berkompetisi, melanglang ke berbagai kandang lawan, menghabiskan dana miliaran, lantas di atas sana tiba-tiba muncul klub bayi?

Begitu pula klub-klub yang di Divisi Satu terhadap klub-klub bayi yang langsung “berjalan” di pentas Divisi Utama.

Situasi mendatang bakal lebih chaos! Kita bersama bisa membayangkan bagaimana susah dan peliknya pengurus PSSI periode berikut mengurusi “sepak bola chaos” itu. Pasti mereka harus menata kembali tatanan yang telah rusak.

SET BACK!

Mereka harus menyatukan kembali strata 1 yang kini terbelah jadi IPL dan ISL. Tidak gampang. Apakah strata 1 Indonesia harus menyatu dengan muatan 31 klub? Gabungan 18 klub ISL + 13 klub IPL? Klub mana yang mampu melakukan 30 laga away plus 30 laga home? Waktu kompetisi bisa lebih dari satu tahun! Bagaimana menyusun jadwal agar sang juara tidak terlambat ikut play-off AFC Champions League? Belum lagi melakoni laga-laga Piala Indonesia.

Lantas, bagaimana cara terbaik merampingkan strata 1 hingga bermuatan 18 klub saja? Mungkin PSSI periode berikut harus mengambil langkah berani yang tidak ada acuannya di belahan bumi mana pun. Mungkin, sekali lagi mungkin, peringkat 6 ISL harus melakukan laga play-off home and away versus peringkat 1 IPL. Peringkat 7 ISL versus peringkat 2 IPL dan seterusnya. Kalau cara ini yang dilakukan, tentu klub-klub IPL protes. “Kami juara IPL koq dipadankan dengan peringkat 6 ISL?” protes klub juara IPL.

Padahal cara itulah yang paling mudah agar jumlah klub strata 1 menyusut jadi 18 klub.Mengapa peringkat 1 sampai 5 ISL langsung lolos? Kubu ISL mungkin berdalih bahwa tingkat persaingan ISL lebih tinggi dan biaya kompetisi yang dikeluarkan lebih besar. Makin banyak klub, makan banyak away, makin banyak home.

Kita belum tahu persis apakah jumlah klub IPL berhenti sampai 13 klub saja (setelah Sriwijaya membelah diri jadi Sriwijaya ISL dan Sriwijaya IPL)? Masih adakah klub baru yang disusulkan?

Persoalan toh belum selesai. Kalau 13 klub strata 1 harus degradasi ke Divisi Utama, lantas mana tiket promosi untuk klub-klub Divisi Utama? Pasalnya 18 tiket strata 1 telah habis dibagikan untuk gabungan 18 klub IPL dan ISL.

Bagaimana pula dengan jumlah klub divisi utama yang tentu membengkak, karena PT LI (Liga Indonesia) menggelar Kompetisi Divisi Utama dan PT LPIS juga menggelar Kompetisi Divisi Utama sendiri.

Betapa beratnya PSSI periode mendatang harus menyatukan kembali dan menata ulang sekitar 70 klub Divisi Utama itu!

Sepak bola Indonesia 2011 bakal mewariskan problem teramat berat dan pelik bagi PSSI periode mendatang. Mungkin masa bakti 4 tahun PSSI periode mendatang habis untuk menata ulang warisan yang kacau itu. Tak sempat lagi melakukan pembinaan pemain muda yang lebih baik. Tak sempat lagi membangun tim nasional yang lebih berprestasi.

0 comments:

Post a Comment

 
Top